Kontributor

Selasa, 31 Januari 2012

PEMBERHENTIAN BEASISWA BBM : TARIK – ULUR JANJI PEMERINTAH


Kenaikan BBM dimasa SBY  yang tertinggi, adalah pada tahun 2005, yakni sebesar 120%. Pada saat itu, solusi yang ditawarkan pemerintah adalah kompensasi atau ganti rugi yang berbentuk program Bantuan Langsung Tunai ( BLT ), Bantuan Oprasional Sekolah ( BOS ), dan bantuan bantuan lain yang banyak dikritik berbagai pihak karena tidak memandirikan masyarakat. Pemerintah seolah lepas tanggung jawab, dan dengan begitu gampangnya menganggap semua persoalan itu selesai, padahal banyak persoalan sosial baru yang ditimbulkan. Mengapa harus ada kompensasi atau ganti rugi atas kenaikan BBM? BBM adalah komoditas yang sangat penting dan mendasar dan secara tidak langsung mempengaruhi barang – barang lainnya. Sebagai contoh, kenaikan BBM pada tahun 2005, secara langsung mempengaruhi biaya transportasi sehingga mengakibatkan naiknya harga beras dari yang semula Rp. 28.000 menjadi Rp. 33.000 per 10 kilogram, atau naik 17,85%. Dengan kata lain terjadi penurunan daya beli masyarakat, yang juga berdampak negatif pada penurunan akses pendidikan dan kesehatan, dan penurunan kesejahteraan masyarakat.
Pada dasarnya BBM selalu mengalami kenaikan harga, hanya berbeda pada masa Soeharto, BBM disubsidi dengan hutang dari luar negeri, sehingga harganya stabil, dan harga barang kebutuhan pokok relatif stabil. Semenjak terjadi krisis ekonomi, sekitar tahun 1997 dimana keadaan defisit anggaran negara, terjadi kesepakatan antara Indonesia dengan IMF dan WB, yang dikenal dengan LOI, dimana salah satu kesepakatan yang menuai kritik adalah penghapusan subsidi dan swastanisasi. Sehingga terjadi pengurangan subsidi secara bertahap. Tentu saja rakyat kecil lah yang dirugikan, sedangkan pertamina selalu diuntungkan. Agaknya ini pula yang menjadi pertimbangan pemerintahan SBY – JK, untuk menawarkan bantuan untuk rakyatnya : masyarakat membeli bahan bakar tanpa subsidi, hanya di beberapa sektor seperti pendidikan dan kesehatan, masyarakat memperoleh keringanan, meskipun banyak dikritik berbagai pihak terutama karena merusak mental masyarakat. Namun, pada tahun 2005 itu, pemerintah berjanji, tidak akan menaikkan harga BBM lagi.
Pada tahun 2008, terjadi kenaikan BBM kembali, meskipun tidak sebesar pada tahun 2005, akan tetapi tetap membuat kekecewaan masyarakat akan janji pemerintah. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintahan SBY. Berbagai aksi dan demonstrasi dilakukan oleh kesatuan Mahasiswa dan aktivis pergerakan di berbagai penjuru negeri. Mereka memprotes kenaikan BBM yang dinilai akan semakin menyengsarakan rakyat kecil dan menuntut SBY untuk segera mundur. Ditengah berbagai protes dan aksi demo mahasiswa itu, secara tiba – tiba, muncul rencana pemerintah untuk menyalurkan kompensasi atas kenaikan BBM berupa bantuan beasiswa untuk perguruan tinggi, yang dikenal dengan beasiswa BBM. Solusi baru yang ditawarkan pemerintah ini, banyak dicurigai berbagai kalangan sebagai upaya untuk menghentikan gencarnya tuntutan mundur SBY – JK di berbagai daerah di tanah air, yang dilakukan mahasiswa. Jumlah beasiswa yang disediakan pemerintah sekitar Rp. 500.000 per semester. Beasiswa tersebut mulai diberikan pada tahun 2008 semester ganjil, walaupun dipertanyakan berbagai pihak.
Namun, mulai April 2012 nanti beasiswa tersebut akan dihentikan. Rencana pemerintah yang dulu tanpa konsep yang jelas, terbukti gagal. Pemerintah sangat tak bertanggung jawab. Sekarang, jelaslah dengan pencabutan subsidi BBM dan dampak naiknya harga – harga barang kebutuhan yang sudah sangat menyengsarakan rakyat dan kini ditambah biaya pendidikan yang tinggi, akan jadi seperti apa, rakyat kita? Bukankah tujuan dari negara kita salah satunya, “….. mencerdaskan kehidupan bangsa….” Secara tidak langsung, kita telah mencetak generasi – generasi yang egois. Pintar tapi buta. Buta akan keadaan lingkungan sekitar. Dengan biaya pendidikan yang semakin tinggi dan kondisi biaya hidup yang tinggi pula, maka mahasiswa akan berlomba, adu cepat selesai, pemikiran akan terpusat pada kompetisi. Bagaimana mahasiswa akan berkembang bila hanya belajar tanpa mau mengerti keadaan lingkungan sekitar?. Lalu, setelah lulus mereka tidak menjadi orang, tetapi instrumen industri. Tentu, dengan biaya pendidikan yang mahal, merekapun mencari pekerjaan dengan upah yang sebanding. Pendidikan tidak lagi memanusiakan. Sungguh miris. Disamping itu, pendidikan tinggi juga tak akan terjangkau untuk masyarakat miskin, maka makin bertambah kemiskinan di negeri ini. Ketika era dengan standar kompetensi yang tinggi, menuntut pendidikan tinggi yang tak mungkin dijangkau, maka makin banyak generasi kita yang kalah saing hanya karena ijazah yang tak mungkin didapatnya. Belum lagi persoalan kualitas pendidikan yang akan dipertanyakan, bila sulit bagi kita memperoleh pendidikan tinggi yang layak.
Bila memang pemerintah serius dengan pendidikan kita, maka jangan bermain – main dengan program – program tanpa kosep dan perencanaan yang matang, dan terkesan tarik – ulur. Sebab rakyat sudah jenuh dengan janji – janji yang tak nyata realisasinya. Dan masyarakat agar lebih kritis dan tidak asal meng iyakan program program pemerintah, terutama yang berdampak besar bagi generasi penerus bangsa.
Alberta Novita Indar Kusumaningsih
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Ekonomi
Universitas Kristen Satya Wacana
(085226337207)