Kontributor

Rabu, 07 Maret 2012

Merangkul Masyarakat, Menjangkau Pendidikan


Awal Tahun 2012 ini, ada banyak berita segar dari pendidikan Indonesia. Di tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud ) mencanangkan memperluas akses pendidikan. Dengan jargon yang diusung, menjangkau yang tidak terjangkau. Dimulai dari kembalinya kebudayaan ke pelukan Departemen Pendidikan, diharapkan pendidikan dapat menjangkau ke seluruh ranah budaya. Perpindahan kebudayaan dari Departemen Pariwisata dirasa tepat, karena pendidikan memang unsur dari kebudayaan. Kebudayaan dapat berkembang dengan pendidikan sebagai ujung tombaknya. Diharapkan pendidikan yang telah berdampingan kebudayaan dapat pula mengatasi kemunduran moral yang tengah terjadi dewasa ini. Sehingga, pendidikan tak hanya cukup untuk membekali seseorang dengan keterampilan saja, juga harus membuatnya berkembang menjadi manusia intelektual yang berbudaya.
Salah satu wujud dari keseriusan Kemendikbud dalam mengatasi persoalan degradasi budaya bangsa adalah dengan dikeluarkannya peraturan pewajiban publikasi karya ilmiah bagi Mahasiswa. Diharapkan tidak hanya mengembangkan budaya menulis dan membaca saja, namun juga budaya menghargai karya orang lain, sikap percaya diri, serta berpikir secara kritis, sistematis dan logis. Tetapi, persoalan ini memang tidaklah mudah. Kita dapat melihat, bahwa generasi kita tidak dibiasakan untuk berpikir kritis dan menuangkan gagasannya. Kurikulum yang sekarang masih mempertahankan budaya bahwa anak hanya menerima ilmu secara definitif. Bisa dilihat dari sejak sekolah dasar, jika ditest pertanyaan yang sering muncul apa dan sebutkan bukan menurut pendapat anak. Seyogyanya, bila memang akan diberlakukan pewajiban publikasi karya ilmiah dalam jurnal, maka harus dimulai dari merubah cara belajar di sekolah dasar. Dengan melatih anak untuk menyatakan pendapat mereka secara sederhana, memungkinkan pendidikan menyesuaikan dengan berbagai budaya anak.

Biaya Pendidikan dan Masalah Moral
Tahun ajaran 2012 adalah tahun pertama berlakukannya Permendikbud No 60 tahun 2011, tentang larangan pungutan biaya pendidikan kepada peserta didik tingkat SD – SMP. Salah satu upaya agar pendidikan dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat dengan kondisi sosial – ekonomi yang berbeda. Memang masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama pihak sekolah swasta yang merasa dipersulit. Masyarakat tentunya akan menyambut baik peraturan tersebut. Hanya sangat disayangkan sebatas tingkat SMP, sedangkan wajib belajar sekarang mulai dirintis 12 tahun. Lulusan SMA saja dirasa belum mampu berkompetisi dalam dunia kerja.
Masalah biaya sekolah memang persoalan yang pelik. Belum ada rumusan bagaimana baiknya. Mungkin beberapa kebijakan dari pemerintah, khususnya kementerian pendidikan dan kebudayaan dapat membantu masyarakat yang tidak mampu. Anggaran yang dialokasikan Negara untuk pendidikan pada tahun 2012 hanyalah 20% dari APBN. Belum lagi masalah buruknya administrasi dan moral orang – orang di lembaga pendidikan itu sendiri. Dari 20 % bisa – bisa hanya tinggal 5 % sampai pada yang berhak. Lalu dalam pidato wakil presiden dalam acara Rembug Nasional Pendidikan dan Kebudayaan, bulan Februari lalu, dari 20% tersebut akan diprioritaskan kenaikan tunjangan gaji guru, kemudian Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ), baru beasiswa.
Kesejahteraan guru, sudah tidak dipertanyakan lagi. setelah berkali – kali demonstrasi, ada banyak pengangkatan guru honorer menjadi PNS. Berkali – kali pula terjadi kenaikan gaji guru hingga menempatkan profesi guru sebagai penerima gaji terbesar diantara PNS yang lainnya. Juga payung hukum yang menaunginya, membuat profesi tersebut kian dilirik. Kalau memang profesi guru masih kurang sejahtera, lalu mengapa semakin banyak lulusan Sekolah Menengah yang mendaftar di FKIP di berbagai Universitas?. Istilah “ Pahlawan tanpa tanda jasa”, telah bergeser, karena guru telah menjadi sebuah profesi. Jika memang ada guru yang tidak sejahtera, berarti ada ketidakmerataan distribusi anggaran. Kenaikan gaji guru, kurang tepat untuk dijadikan solusi permasalahan ketidakmerataan kesejahteraan guru. Jadi yang perlu dikaji ulang adalah bagaimana agar distribusi upah guru supaya merata.Yang ada justru memperlebar jurang kesenjangan diantara para guru.  Disamping itu, para guru diharapkan dengan kesadaran diri untuk berusaha secara profesional meningkatkan kualitasnya masing – masing.
Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) pada tahun ini, naik 100 % dari tahun lalu, yang hanya 70%. Sebesar 15,82 triliun dianggarkan untuk merehabilitasi 173 ribu ruang kelas yang rusak. Terdiri dari 132 ribu ruang kelas SD, 41 ribu SMP[1]. Ini berarti semua anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama rata untuk belajar secara aman dan nyaman. Namun, perlu diketahui pula bahwa kurikulum dan bahan ajar juga harus disesuaikan seiring dengan pembangunan infrastruktur sekolah. Bayangkan, anak yang tidak terbiasa dengan teknologi, lantas disekolahnya diberi sarana teknologi tertentu. Bisa tertinggal jauh dengan teman – temannya yang menguasai teknologi. Juga yang perlu dipikirkan, bukan hanya sarana dan prasarana yang perlu dibangun. Tetapi juga perlu pembangunan moralitas dan akhlak pihak – pihak yang terkait, agar BOS tepat sasaran. Bukan menjadi sasaran korupsi.
 Beasiswa yang ditawarkan juga, sangat membantu masyarakat golongan tidak mampu untuk mengakses pendidikan. Namun, jumlahnya amat terbatas dan sukar untuk didapat. Berbeda dengan anak dari keluarga mampu, yang mendapat banyak fasilitas dan sedikit beban tanggungan. Anak – anak dari keluarga yang tidak mampu biasanya pulang sekolah membantu orang tua, sehingga waktu untuk belajar sedikit. Banyak dari mereka yang berprestasi, tetapi tidak jarang pula yang nilainya jatuh karena keterbatasan waktu untuk belajar. Oleh karena itu, beasiswa perlu diperbanyak, namun dengan persyaratan tertentu yang fleksibel serta tepat sasaran.

Merangkul Masyarakat
Masalah pendidikan nasional memang bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Negeri ini juga milik kita, sebagai bangsa yang tinggal di bumi persada. Dibutuhkan peran serta seluruh elemen masyarakat, baik masyarakat umum maupun praktisi pendidikan, untuk mengawasi, mengkritisi, serta meningkatkan akses pendidikan. Masyarakat tidak hanya pasif menerima begitu saja, termasuk kebijakan pemerintah. Tapi juga mampu mengkaji apa yang pemerintah berikan. Serta diharapkan mampu bertindak juga, bagi pembangunan bangsa yang fondasinya terletak pada pendidikan dan generasi muda. Semuanya saling bekerja sama secara berkesinambungan, agar dapat terlaksana pendidikan yang luas akses jaringannya.

[1] Data sumber dari Arahan Mendikbud pada Rembug Nasional Pendidikan dan Kebudayaan, Pusbangtendik, Depok,2012.

Penulis : Alberta Novita Indar Kusumaningsih
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Ekonomi
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga