Kontributor

Senin, 28 Januari 2013

sikap intelektualitas ( Novi's DIARY 27 Januari 2013)

Ingatlah pelajaran hari ini....!!!!
Seharusnya sekolah dapat membuat perbedaan yang jelas dalam kehidupan para siswa, lulusan, maupun semua orang yang pernah bersekolah, dari perubahan TINGKAH LAKU, sesuai pada hakikat belajar itu sendiri.
tingkah laku itu perubahannya kearah positif : KEDEWASAAN, laiknya tujuan pendidikan itu.
artinya dapat berpikir rasional, objektif, mampu melihat setiap fenomena yang terjadi di lingkungan secara bijak, dengan mengesampingkan emosi, mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan nilai - nilai luhur kemanusiaan, menggunakan akal dan pikiran secara sehat dan terbuka luas, mampu mendengarkan nurani, dan menjunjung tinggi intelektualitas.....
Namun kini aku tak melihat hal itu. jelas mengapa kualitas Sumber Daya Manusia begitu rendah.
sikapnya tidak mencerminkan pernah bersekolah, semua kejadian dimengerti hanya pada emosi dan keuntungan subyektif. semua hal ditelaah secara menggebu tanpa memperluas pemikiran : BAGAIMANA DAMPAK DARI SETIAP TINFDAKAN YANG DIAMBIL

Kamis, 24 Januari 2013

KOLOKIUM : KETIKA MIMPI BERHADAPAN DENGAN REALITA


Ketika saya menulis ini, belum sekalipun saya pernah hadir menyaksikan ujian proposal skripsi, atau yang umumnya disebut dengan kolokium. Namun beberapa hari yang akan datang, saya akan maju dalam sebuah kolokium. Membawa gagasan, mencoba bertahan diantara mekanisme tawar – menawar antara dosen dengan mahasiswa.
Beberapa teman menganggap ini adalah awal dari sebuah pembantaian. Namun yang ada di benak saya, mungkin seperti ketika saya sakit lalu ke dokter. Ketika dokter menganjurkan penyuntikan, seperti itulah bayangan saya mengenai kolokium. Rasa sakitnya mungkin cuma beberapa saat bercampur dengan ketegangan psikologis antara tubuh yang dimasuki benda asing : cairan obat dan jarum suntik. Namun kita akan melihat manfaat jangka panjangnya. Itulah kolokium di benak saya.
Berhari – hari berpikir dan mengetik, itulah pekerjaan saya (dan bukan cuma saya). Apa yang saya tulis dalam proposal adalah sebuah gagasan. Layaknya orang muda yang memiliki banyak ide segar (atau bisa diartikan mimpi/impian) yang kadang dianggap tidak realistis. Semua berbenturan pada kendala keadaan realita.
Ide itu semacam benih yang hendak tumbuh, lalu semua bergantung pada tanah tempatnya tumbuh, kelembaban, air, intensitas cahaya dan temperatur. Begitupun penelitian yang akan dilakukan nantinya bergantung pada keadaan realita. Kolokium diadakan untuk mengetahui seberapa realistisnya gagasan seseorang, apakah gagasan tersebut dapat diterima atau tidak.
Persoalannya buat saya yang berat adalah bagaimana membawa teori yang kita terima di kelas selama perkuliahan kedalam kehidupan nyata. Tidak semudah itu, ternyata. Seolah diantara dunia teoritis dan empirik itu ada tembok yang susah untuk ditembus. Apa yang kita hadapi adalah kejadian nyata bukan lagi pemikiran yang abstrak.
Toh kita tidak harus menanggapi ini dengan lebay. Yang kita harus lakukan adalah hadapi dengan semampunya. Nanti ketika kita keluar dari perguruan tinggi, perubahan tingkah laku kita akan terlihat, kita berpikir bukan emotif. Namun, lebih dari itu, sebuah gagasan akan juga akan kita pilih berdasarkan kriteria fakta, agar tidak sebatas impian muluk. Juga bagaimana kita akan bertahan dari persepsi orang tentang gagasan kita. Semoga kita dapat mengaplikasikan ilmu yang kita terima dalam kehidupan nyata

Senin, 21 Januari 2013

Hasil cetak pendidikan Indonesia


Suatu kali, di suatu sore di bangku teras rumah. Saya duduk – duduk bersama dengan seorang sahabat masa kecil saya sebut saja namanya Ijul. Setelah bertahun – tahun kami tidak berjumpa. Lepas SMA dia melanjutkan S1 Teknologi Pangan di sebuah Universitas yang cukup terkenal dengan beasiswa. Tahun kedua sudah bekerja sebagai asisten dosen dan tahun ketiga sudah skripsi. Tiga setengah tahun dia rampungkan studinya yang cukup berat itu dengan prestasi – prestasi yang amat memuaskan. bahkan sebelum dia wisuda sudah banyak tawaran pekerjaan berdatangan. Hanya satu tawaran dia terima di sebuah pabrik makanan di Jakarta.
Berbeda dengan saya yang kuliah tersendat – sendat, sekarang baru di semester tujuh dan baru praktek di sebuah sekolah. Saya agak mengeluh dengan sistem pembelajaran dikampus yang membuat saya “Kesulitan bernafas”. Bayangkan tugas setumpuk tiap hari. Saya pikir saya ini apakah bukan manusia? Jadi seperti robot yang terprogram : habis kuliah – pulang mengerjakan tugas sampai malam. Atau yang parah : Praktek di sekolah – kuliah di kampus – pulang kost berkutat dengan tugas. Pada akhirnya saya merasa kehilangan dunia sosial saya dengan teman – teman.  Padahal dunia sosial pun dapat memperluas cakrawala pengetahuan saya selama tepat sasaran.
“Apa yang kamu dapatkan selama kuliah, Jul?”, sebuah pertanyaan terlontar dari saya.
“banyak kog, teman, pengalaman dan ilmu”
“ah kalau teman, pengalaman dan ilmu sih aku bisa dapatkan tanpa kuliah. Aku di rumah bergaul dengan tetangga, aku membaca buku dan koran. Aku pergi ke berbagai tempat pasti dapat pengalaman. Di kuliah aku merasa cuma dapat tugas yang banyak. Tapi tak satupun ilmuku berkembang”
“hahahaha, kamu merasa begitu ya? Sabar saja. Nanti habis selesai kan kamu juga dapat ijazah yang akan membuatmu bernilai”
Saya hanya diam dan berpikir dalam hati. Bayi baru lahir kan belum punya ijazah tapi bernilai kog sebagai manusia?. Apa manusia hanya dinilai dan ataupun dihargai hanya dengan selembar kertas IJAZAH tanda lulus bertuliskan nama yang ada cap universitas dan tanda tangan rektor? Sampai sekarang saya masih belum bisa mengerti : apa yang saya dapatkan selama kuliah dengan sistem yang seperti ini dan mengapa manusia dengan mudah menilai sesamanya dengan selembar ijazah.
Pendidikan sebagaimana yang dicetuskan oleh Langeveld sebagai setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu[1] merupakan alat atau instrumen dari belajar. Belajar sendiri adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat[2]. Jadi kita tahu bagaimana seharusnya antara proses (belajar) maupun sistem (pendidikan) harus sejalan dan bersama. Belajar merupakan hasil dari stimulus sebagai input dan respon sebagai output. Dari seorang anak yang belum bisa berjalan sampai bisa berjalan kemudian dapat berlari dikatakan telah mengalami proses belajar.
Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar tidak hanya berupa penambahan pengetahuan saja. Ada tiga ranah yang dapat dicapai dalam proses belajar yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dan hendaknya pendidikan sebagai alat dapat membantu ketercapaian ketiga ranah tersebut guna  mengarahkan pada tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Tujuan dari pendidikan menurut Langeveld sebagaimana terkandung dari definisi diatas adalah kedewasaan. Kedewasaan itu berproses, sehingga ada istilah pendidikan sepanjang akhir hayat. Manusia hidup bersosial dengan sesama, mengalami banyak pengalaman dan menemukan makna, ada proses belajar di setiap hari agar fleksibel dan selalu mampu beradaptasi terhadap perubahan situasional yang ada. Dalam hal ini pendapat Langeveld kurang kuat mendeskripsikan tujuan dari pendidikan. John Dewey memperluas kecakapan yang dituju oleh pendidikan tidak hanya peserta didik mampu mandiri melaksanakan tugas hidupnya. Namun juga meliputi kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan dan sesama manusia. Manusia yang telah dididik akan memiliki kemampuan untuk hidup sebagai anggota masyarakat.  
Permasalahan yang kerap terjadi adalah output yang dihasilkan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Secara kecakapan kognitif kita selalu lebih baik dari tahun ke tahun. Khususnya di era kecepatan arus informasi dan peran teknologi. Kita dapat mengakses ilmu pengetahuan secara cepat dan global melalui internet. Berbagai buku elektronik (e-book), hingga pembelajaran berbasis teknologi seperti e-learning sangat memudahkan kita dalam pendidikan. Hanya informasi dan teknologi kita tidak menjamin kecakapan lainnya terutama ranah afektif yang juga sangat berperan dalam kehidupan kita. Persoalan yang sepele yang sering kita lakukan misalkan menghargai orang lain. Dengan teknologi dan informasi yang sedemikian rupa, sudahkah kita menghargai kekayaan intelektual orang lain?. Sementara pemberi stimulus di lembaga pendidikan (dalam hal ini guru) kebanyakan hanya memberikan stimulus kognitif. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal pada umumnya hanya  menginginkan target hasil belajar secara kuantitatif terpenuhi. Kalau siswa sudah dapat memenuhi standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), merasa sudah ayem tidak ada pencapaian lainnya. Akibatnya jangan heran bila banyak kasus mencontek masal terungkap. Sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum. Saat ini, pendidikan merupakan salah satu indikator berhasil atau tidaknya sebuah pemerintahan. Kegagalan pendidikan terutama dalam hal meluluskan output dapat menjadi tolak ukur kegagalan pemerintah masing – masing daerah. Pemerintah masing – masing daerah tentu tahu adanya praktek kecurangan yang terjadi sewaktu ujian nasional, namun memilih bungkam daripada di cap gagal. Entah apakah pemerintah pusat tahu tetapi tutup mata terhadap realita ini. Yang jelas kita tidak mampu mengingat hakikat tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan di Indonesia terlalu banyak ternodai masalah mulai dari sistem pendidikan, mental oknum lembaga pendidikan, korupsi dan sebagainya. Sangat disayangkan bila pendidikan bila pendidikan di indonesia pada akhirnya mencetak generasi yang cakap secara kogntif namun tidak memiliki kematangan intelektual. Setiap tahun berapa banyak universitas kategori terbaik menghasilkan ribuan mahasiswa dengan IPK yang memuaskan dan sejumlah  predikat yang keren beken. Namun jika kita lihat hanya segelintir yang mampu turut serta membangun masyarakat kita. Lalu sekolah bertahun – tahun buat apa? Ilmu yang didapatkan ternyata tidak bisa diaplikaskan dalam kehidupan riil.
Inilah realita dari pendidikan di negara kita, Indonesia. Pendidikan yang seharusnya dikaji ulang bagaimana kualitas proses dan outputnya. Masihkah kita akan menilai manusia dari selembar ijazah dengan nama, IPK, sederet titel atau tanda tangan diatasnya, yang sebenarnya tak berarti apa – apa?. Atau haruskah kita berbangga hati dengan ijazah yang kita dapatkan tanpa ada perubahan tingkah laku kita?