Kontributor

Kamis, 24 Januari 2013

KOLOKIUM : KETIKA MIMPI BERHADAPAN DENGAN REALITA


Ketika saya menulis ini, belum sekalipun saya pernah hadir menyaksikan ujian proposal skripsi, atau yang umumnya disebut dengan kolokium. Namun beberapa hari yang akan datang, saya akan maju dalam sebuah kolokium. Membawa gagasan, mencoba bertahan diantara mekanisme tawar – menawar antara dosen dengan mahasiswa.
Beberapa teman menganggap ini adalah awal dari sebuah pembantaian. Namun yang ada di benak saya, mungkin seperti ketika saya sakit lalu ke dokter. Ketika dokter menganjurkan penyuntikan, seperti itulah bayangan saya mengenai kolokium. Rasa sakitnya mungkin cuma beberapa saat bercampur dengan ketegangan psikologis antara tubuh yang dimasuki benda asing : cairan obat dan jarum suntik. Namun kita akan melihat manfaat jangka panjangnya. Itulah kolokium di benak saya.
Berhari – hari berpikir dan mengetik, itulah pekerjaan saya (dan bukan cuma saya). Apa yang saya tulis dalam proposal adalah sebuah gagasan. Layaknya orang muda yang memiliki banyak ide segar (atau bisa diartikan mimpi/impian) yang kadang dianggap tidak realistis. Semua berbenturan pada kendala keadaan realita.
Ide itu semacam benih yang hendak tumbuh, lalu semua bergantung pada tanah tempatnya tumbuh, kelembaban, air, intensitas cahaya dan temperatur. Begitupun penelitian yang akan dilakukan nantinya bergantung pada keadaan realita. Kolokium diadakan untuk mengetahui seberapa realistisnya gagasan seseorang, apakah gagasan tersebut dapat diterima atau tidak.
Persoalannya buat saya yang berat adalah bagaimana membawa teori yang kita terima di kelas selama perkuliahan kedalam kehidupan nyata. Tidak semudah itu, ternyata. Seolah diantara dunia teoritis dan empirik itu ada tembok yang susah untuk ditembus. Apa yang kita hadapi adalah kejadian nyata bukan lagi pemikiran yang abstrak.
Toh kita tidak harus menanggapi ini dengan lebay. Yang kita harus lakukan adalah hadapi dengan semampunya. Nanti ketika kita keluar dari perguruan tinggi, perubahan tingkah laku kita akan terlihat, kita berpikir bukan emotif. Namun, lebih dari itu, sebuah gagasan akan juga akan kita pilih berdasarkan kriteria fakta, agar tidak sebatas impian muluk. Juga bagaimana kita akan bertahan dari persepsi orang tentang gagasan kita. Semoga kita dapat mengaplikasikan ilmu yang kita terima dalam kehidupan nyata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar