Suatu kali, di suatu sore di bangku
teras rumah. Saya duduk – duduk bersama dengan seorang sahabat masa kecil saya
sebut saja namanya Ijul. Setelah bertahun – tahun kami tidak berjumpa. Lepas SMA
dia melanjutkan S1 Teknologi Pangan di sebuah Universitas yang cukup terkenal
dengan beasiswa. Tahun kedua sudah bekerja sebagai asisten dosen dan tahun
ketiga sudah skripsi. Tiga setengah tahun dia rampungkan studinya yang cukup
berat itu dengan prestasi – prestasi yang amat memuaskan. bahkan sebelum dia
wisuda sudah banyak tawaran pekerjaan berdatangan. Hanya satu tawaran dia
terima di sebuah pabrik makanan di Jakarta.
Berbeda dengan saya yang kuliah
tersendat – sendat, sekarang baru di semester tujuh dan baru praktek di sebuah
sekolah. Saya agak mengeluh dengan sistem pembelajaran dikampus yang membuat
saya “Kesulitan bernafas”. Bayangkan tugas setumpuk tiap hari. Saya pikir saya
ini apakah bukan manusia? Jadi seperti robot yang terprogram : habis kuliah –
pulang mengerjakan tugas sampai malam. Atau yang parah : Praktek di sekolah –
kuliah di kampus – pulang kost berkutat dengan tugas. Pada akhirnya saya merasa
kehilangan dunia sosial saya dengan teman – teman. Padahal dunia sosial pun dapat memperluas
cakrawala pengetahuan saya selama tepat sasaran.
“Apa yang kamu dapatkan selama
kuliah, Jul?”, sebuah pertanyaan terlontar dari saya.
“banyak kog, teman, pengalaman dan
ilmu”
“ah kalau teman, pengalaman dan ilmu
sih aku bisa dapatkan tanpa kuliah. Aku di rumah bergaul dengan tetangga, aku
membaca buku dan koran. Aku pergi ke berbagai tempat pasti dapat pengalaman. Di
kuliah aku merasa cuma dapat tugas yang banyak. Tapi tak satupun ilmuku
berkembang”
“hahahaha, kamu merasa begitu ya?
Sabar saja. Nanti habis selesai kan kamu juga dapat ijazah yang akan membuatmu
bernilai”
Saya hanya diam dan berpikir dalam
hati. Bayi baru lahir kan belum punya ijazah tapi bernilai kog sebagai
manusia?. Apa manusia hanya dinilai dan ataupun dihargai hanya dengan selembar
kertas IJAZAH tanda lulus bertuliskan nama yang ada cap universitas dan tanda
tangan rektor? Sampai sekarang saya masih belum bisa mengerti : apa yang saya
dapatkan selama kuliah dengan sistem yang seperti ini dan mengapa manusia
dengan mudah menilai sesamanya dengan selembar ijazah.
Pendidikan sebagaimana yang
dicetuskan oleh Langeveld sebagai setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan
bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu[1]
merupakan alat atau instrumen dari belajar. Belajar sendiri adalah perubahan
yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari
pengalaman atau latihan yang diperkuat[2]. Jadi kita tahu bagaimana
seharusnya antara proses (belajar) maupun sistem (pendidikan) harus sejalan dan
bersama. Belajar merupakan hasil dari stimulus sebagai input dan respon sebagai
output. Dari seorang anak yang belum bisa berjalan sampai bisa berjalan
kemudian dapat berlari dikatakan telah mengalami proses belajar.
Perubahan tingkah laku sebagai hasil
belajar tidak hanya berupa penambahan pengetahuan saja. Ada tiga ranah yang
dapat dicapai dalam proses belajar yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dan hendaknya pendidikan sebagai alat dapat membantu ketercapaian ketiga ranah
tersebut guna mengarahkan pada tujuan
dari pendidikan itu sendiri.
Tujuan dari pendidikan menurut
Langeveld sebagaimana terkandung dari definisi diatas adalah kedewasaan.
Kedewasaan itu berproses, sehingga ada istilah pendidikan sepanjang akhir
hayat. Manusia hidup bersosial dengan sesama, mengalami banyak pengalaman dan
menemukan makna, ada proses belajar di setiap hari agar fleksibel dan selalu
mampu beradaptasi terhadap perubahan situasional yang ada. Dalam hal ini
pendapat Langeveld kurang kuat mendeskripsikan tujuan dari pendidikan. John
Dewey memperluas kecakapan yang dituju oleh pendidikan tidak hanya peserta
didik mampu mandiri melaksanakan tugas hidupnya. Namun juga meliputi kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan dan sesama
manusia. Manusia yang telah dididik akan memiliki kemampuan untuk hidup sebagai
anggota masyarakat.
Permasalahan yang kerap terjadi
adalah output yang dihasilkan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Secara
kecakapan kognitif kita selalu lebih baik dari tahun ke tahun. Khususnya di era
kecepatan arus informasi dan peran teknologi. Kita dapat mengakses ilmu
pengetahuan secara cepat dan global melalui internet. Berbagai buku elektronik
(e-book), hingga pembelajaran berbasis teknologi seperti e-learning sangat
memudahkan kita dalam pendidikan. Hanya informasi dan teknologi kita tidak
menjamin kecakapan lainnya terutama ranah afektif yang juga sangat berperan
dalam kehidupan kita. Persoalan yang sepele yang sering kita lakukan misalkan
menghargai orang lain. Dengan teknologi dan informasi yang sedemikian rupa,
sudahkah kita menghargai kekayaan intelektual orang lain?. Sementara pemberi
stimulus di lembaga pendidikan (dalam hal ini guru) kebanyakan hanya memberikan
stimulus kognitif. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal pada umumnya
hanya menginginkan target hasil belajar secara
kuantitatif terpenuhi. Kalau siswa sudah dapat memenuhi standar KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal), merasa sudah ayem
tidak ada pencapaian lainnya. Akibatnya jangan heran bila banyak kasus
mencontek masal terungkap. Sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum. Saat ini,
pendidikan merupakan salah satu indikator berhasil atau tidaknya sebuah
pemerintahan. Kegagalan pendidikan terutama dalam hal meluluskan output dapat
menjadi tolak ukur kegagalan pemerintah masing – masing daerah. Pemerintah
masing – masing daerah tentu tahu adanya praktek kecurangan yang terjadi
sewaktu ujian nasional, namun memilih bungkam daripada di cap gagal. Entah
apakah pemerintah pusat tahu tetapi tutup mata terhadap realita ini. Yang jelas
kita tidak mampu mengingat hakikat tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan
di Indonesia terlalu banyak ternodai masalah mulai dari sistem pendidikan,
mental oknum lembaga pendidikan, korupsi dan sebagainya. Sangat disayangkan
bila pendidikan bila pendidikan di indonesia pada akhirnya mencetak generasi
yang cakap secara kogntif namun tidak memiliki kematangan intelektual. Setiap
tahun berapa banyak universitas kategori terbaik menghasilkan ribuan mahasiswa
dengan IPK yang memuaskan dan sejumlah
predikat yang keren beken.
Namun jika kita lihat hanya segelintir yang mampu turut serta membangun
masyarakat kita. Lalu sekolah bertahun – tahun buat apa? Ilmu yang didapatkan
ternyata tidak bisa diaplikaskan dalam kehidupan riil.
Inilah realita dari pendidikan di
negara kita, Indonesia. Pendidikan yang seharusnya dikaji ulang bagaimana
kualitas proses dan outputnya. Masihkah kita akan menilai manusia dari selembar
ijazah dengan nama, IPK, sederet titel atau tanda tangan diatasnya, yang
sebenarnya tak berarti apa – apa?. Atau haruskah kita berbangga hati dengan
ijazah yang kita dapatkan tanpa ada perubahan tingkah laku kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar